Women and the Media: How the Media’s Toxic Portrayal of Women Perpetuates Gender Stereotypes

Sumber:  wmcurrent.com

Media memiliki dampak yang besar terhadap persepsi kita dalam melihat dunia, termasuk pemahaman kita tentang peran gender dan ekspektasinya. Perempuan, khususnya telah menjadi subjek dari berbagai stereotip dan representasi sempit dalam media. Mulai dari iklan, film, hingga liputan berita, cara perempuan digambarkan di media telah lama menjadi topik diskusi dan perdebatan. 

Secara historis, kontribusi perempuan dalam media dibatasi pada peranan tertentu yang menekankan seksualitas, kecantikan, dan kelemah lembutan mereka. Buktinya dapat dilihat melalui berbagai tayangan film dan televisi, di mana seringkali perempuan memerankan karakter “love interest” dari pemeran utama laki-laki atau menjadi korban yang selalu membutuhkan pertolongan. 

Maka dari itu, sangatlah disayangkan ketika wanita yang mendapatkan peran utama seringkali dijadikan objek seksual dan dikurangi kekuatan dan pengaruhnya. Kegagalan dalam menggambarkan prestasi dan kemampuan wanita secara bermakna di media merupakan “wasted potential” untuk menginspirasi generasi mendatang dan mempromosikan kesetaraan gender. Dengan menggambarkan wanita dalam peran yang beragam dan kompleks, media dapat membantu menghancurkan stereotip gender dan menunjukkan bahwa wanita mampu memberikan kontribusi penting bagi masyarakat.

Tak hanya dunia perfilman, dalam dunia periklanan, perempuan juga diberdayakan untuk menjual produk dengan menekankan penampilan fisik mereka. Sebagai contoh, banyak perusahaan mobil menuntut pekerja wanitanya untuk berpakaian minim demi mengiklankan mobil mereka, dan perusahaan parfum menggunakan gambar wanita dalam pose yang sensual untuk menjual produk mereka. Jenis iklan sepert ini tidak hanya menggebukan objektifikasi wanita, melainkan juga merugikan keberlangsungan kesetaraan gender dan hak asasi manusia. 

Selain itu, media juga mempromosikan toxic beauty standard, di mana penampilan fisik wanita dijadikan sebagai parameter untuk menentukan nilai mereka. Wanita yang tidak memenuhi standar kecantikan yang sempit dalam masyarakat seringkali dimarginalkan dari media mainstream. Salah satu contoh kasusnya adalah penyebaran akun media sosial “Kampus Cantik” yang populer di Indonesia. 

Akun “Kampus Cantik” mengunggah foto-foto mahasiswa wanita yang dianggap memiliki kecantikan fisik yang tinggi. Sayangnya, konten yang diposting seringkali bersifat seksual dan memperlihatkan wanita dalam posisi yang merendahkan martabat mereka. Akun ini juga mempromosikan citra wanita yang ideal hanya berdasarkan penampilan fisik, tanpa menunjukkan kepribadian dan kemampuan mereka yang sebenarnya.

Hal ini tentunya juga berpengaruh pada self-worth wanita Indonesia. Wanita yang dianggap tidak memenuhi standar kecantikan seringkali menjadi objek diskriminasi dan penghinaan. Mereka mendapatkan tekanan sosial yang tinggi untuk memperbaiki penampilan mereka, bahkan sampai pada tingkat mengubah fisik mereka melalui operasi plastik dan diet ekstrem. Perilaku ini dapat menyebabkan kerusakan pada kesehatan mental dan fisik mereka, seperti depresi, gangguan makan, dan gangguan citra tubuh. Selain itu, fokus yang berlebihan pada kecantikan fisik juga dapat menghalangi wanita dalam mencapai potensi mereka yang sebenarnya.

Selain itu, media dapat mempengaruhi aspirasi karir dan minat anak perempuan. Ketika wanita tidak diwakili dalam posisi kepemimpinan atau bidang seperti sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), hal ini dapat membatasi aspirasi anak perempuan untuk mengejar bidang tersebut. Ketidakterwakilan ini dapat memperpetuasi kesenjangan gender di bidang-bidang tersebut dan membatasi kesempatan anak perempuan untuk sukses. 

Apa yang bisa dilakukan media untuk mengatasi isu ini?

Pertama, organisasi media dapat meningkatkan representasi wanita dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Dengan adanya wanita dalam posisi ini, sudut pandang dan pengalaman wanita akan lebih terwakili dalam konten yang diproduksi, sehingga dapat menghasilkan representasi wanita yang lebih akurat dan positif. 

Kedua, organisasi media dapat melakukan audit gender pada konten yang diproduksi untuk mengidentifikasi stereotip gender yang terjadi dan mencari cara untuk menghapusnya. Misalnya, organisasi media dapat menghindari penggambaran wanita sebagai objek seksual dan menawarkan kesempatan bagi wanita untuk memainkan peran utama dengan karakter yang beragam dan menginspirasi. 

Ketiga, organisasi media dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok advokasi wanita dan organisasi nirlaba untuk mempromosikan representasi yang lebih positif tentang wanita dalam media. Dengan bekerja sama, organisasi media dapat memahami perspektif yang berbeda dan menghasilkan konten yang lebih sensitif terhadap isu-isu yang dihadapi oleh wanita. 

Keempat, organisasi media dapat memberikan pelatihan kepada wartawan dan produser tentang pentingnya representasi yang akurat dan positif tentang wanita. Pelatihan ini dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang stereotip gender dan mengajarkan teknik untuk menghindari penggambaran yang tidak akurat atau berbahaya bagi perlindungan hak-hak wanita. 

Dengan mengambil langkah-langkah ini, media dapat berperan dalam mengubah cara pandang masyarakat tentang peran dan kemampuan wanita. Representasi yang lebih akurat dan positif tentang wanita dalam media dapat membantu menghapus stereotip gender dan mempromosikan kesetaraan gender yang sebenarnya.

Referensi:

Nayahi, Manggala. (2015, 4 Maret). Objektifikasi Perempuan oleh Media: Pembakuan Identitas Perempuan dan Dominasi Kekuasaan Laki-laki. Dikutip pada 20 Februari 2023 melalui Yayasan Jurnal Perempuan:

https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/objektifikasi-perempuan-oleh-media-pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki

Prasanti, D. (2012). Tubuh Perempuan Tambang Emas Bagi Media Massa. Observasi, 10(1). 

Putri, S. A. R. (2021). Potret Stereotip Perempuan di Media Sosial. Jurnal Representamen Vol, 7(02). 

Sari, S. (2012). Stereotip, bahasa, dan pencitraan perempuan pada iklan dalam perspektif budaya populer. Observasi, 10(1). 

Penulis: Syabilla Himaningtyas Sudarpo

Editor: Desy Putri R.

Tags:

Share this post:

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *