
“The sustained development of the world could be achieved if women have the same opportunities as men, health, study, work, decision-making, and in building their own lives.” Enrique Peña Nieto, Mexico’s 64th President.
Diskriminasi serta stigma yang diberikan terhadap gender berdampak dan secara langsung maupun tidak langsung terimplementasi pada struktur sosial masyarakat, termasuk dalam ranah pemerintahan. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi peningkatan dalam keterlibatan perempuan di ranah politik, angka yang ada masih jauh dari kata “setara” bila dibandingkan dengan jumlah representasi politikus laki-laki, utamanya dalam skala global. Bila berbicara soal peningkatan pun, perlu disorot bahwa peningkatan dalam partisipasi perempuan dalam pemerintahan berjalan lambat. Hal ini tentunya tidak semata-mata didasari oleh keengganan perempuan dalam berpartisipasi di panggung politik, melainkan karena kurangnya kuota dan beberapa polemik budaya yang menghalangi perempuan untuk menjadi pemimpin. Berdasarkan data, hingga kini perempuan hanya pernah menjabat sebagai kepala negara atau pemerintahan di 22 negara sedangkan terdapat 119 negara yang tidak pernah memiliki pemimpin perempuan (UN Women, 2022).
Tentunya fenomena ini adalah suatu hal yang amat disayangkan melihat representasi perempuan dalam kursi pemerintahan yang masih tergolong minim. Padahal, terciptanya kesetaraan dalam partisipasi perempuan pada kehidupan politik serta publik merupakan salah satu agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang diakui sebagai salah satu pendorong utama untuk mencapai kesejahteraan global. Secara spesifik, proyeksi ini tercantum dalam SDGs kelima yang menyatakan : “Perempuan dan anak, di mana pun mereka berada, harus memiliki hak dan kesempatan yang sama, serta dapat hidup bebas dari kekerasan dan demokrasi”. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita semua turut berpartisipasi dalam mewujudkan kesetaraan kesempatan bagi tiap individu, terlepas dari gender, kelas, kasta, ras, etnis, usia, maupun status disabilitas yang mereka inginkan, termasuk dalam ranah politik. Salah satu contoh aksi nyata yang pernah digaungkan pula adalah dirintisnya poin mengenai kesetaraan kesempatan pada Beijing Declaration ke-25 yang berbunyi : “Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga dapat dilihat sebagai syarat penting agar kepentingan kaum perempuan dapat diperhitungkan” (United Nations, 1995).
Partisipasi perempuan dalam panggung politik tentunya merupakan hal krusial yang dapat menjamin perubahan positif dalam terwujudnya demokrasi serta kesetaraan gender. Hal ini ditunjang oleh semakin adanya inklusivitas suara serta pertimbangan dari perspektif perempuan yang memengaruhi berbagai kebijakan dengan prioritas untuk mendukung sesama perempuan, keluarga, serta kelompok marjinal (Adler, 2018). Secara global, sudah menjadi suatu fakta bahwa masih terdapat banyak kebijakan yang bersifat diskriminatif bahkan secara eksplisit merugikan perempuan. Kebijakan yang ditujukan untuk perempuan, sudah selayaknya memerlukan perspektif perempuan baik dalam pembuatannya maupun pengimplementasiannya. Terlebih, rendahnya angka keterlibatan perempuan dalam kursi pemerintahan merupakan problematika yang bersifat struktural. Sejak awal, tidak adanya jaminan atas kesetaraan untuk mendapatkan fasilitas mendasar seperti pendidikan dan kesehatan turut berkontribusi dalam tertutupnya pintu kesempatan bagi perempuan untuk terjun dalam ranah politik.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa masalah berlapis ganda juga memerlukan penanganan ganda dalam menyelesaikannya. Kesetaraan dalam kesempatan merupakan hal mendasar yang sepantasnya diaplikasikan dalam tiap sektor kehidupan sosial. Banyak sekali perempuan di luar sana yang lebih dari kata mampu untuk menjadi pemimpin masa depan namun terhalang karena terbatasnya ‘porsi’ yang tersedia. Kemajemukan, termasuk dalam porsi keterlibatan perempuan dalam kursi pemerintahan, adalah langkah yang perlu kita tempuh dalam menggapai kesetaraan gender. Oleh karena itu, meskipun isu ini merupakan masalah yang terjadi secara struktural, turut sadar dan membuka perspektif kita akan masalah ini merupakan hal yang dapat kita lakukan.
Referensi
Adler, A. (2018). Why Women in Politics? – Women Deliver. [online] Women Deliver. Tersedia dalam: https://womendeliver.org/why-women-in-politics/ [Diakses pada 4 Feb. 2023].
Parawansa, K, I,. (1998). “Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia,” in International IDEA, 2002, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Stockholm: International IDEA, pp. 41-52.
United Nations,. (1995). Report of the Fourth World Conference on Women Beijing, 4-15 September [online] Tersedia dalam: https://beijing20.unwomen.org/~/media/Field%20Office%20Beijing%20Plus/Attachments/BeijingDeclarationAndPlatformForAction-en.pdf.
UN Women – Headquarters. (2022). Facts and figures: Women’s leadership and political participation. [online] Tersedia dalam: https://www.unwomen.org/en/what-we-do/leadership-and-political-participation/facts-and-figures [Diakses pada 4 Feb. 2023].
Penulis: Allyana Honosutomo
Editor: Desy Putri R.